Mampukah PP TUNAS lindungi anak di dunia digital?

By Ghita Permatasari

Indonesia memperkenalkan regulasi baru demi melindungi anak di ruang digital. Namun, ahli menilai ini baru langkah awal di tengah tantangan dunia digital yang semakin kompleks.

Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa PP TUNAS menjadi wujud komitmen negara dalam melindungi anak-anak dari berbagai ancaman digital. Foto: Sekretariat Presiden Republik Indonesia

Pemerintah Indonesia baru saja meluncurkan kebijakan untuk memperkuat perlindungan anak di dunia maya. Dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak—dikenal dengan nama PP TUNAS—menjadi kerangka hukum komprehensif yang mengatur tentang hak anak di ranah digital. 


“PP TUNAS menjadi wujud komitmen negara dalam melindungi anak-anak dari berbagai ancaman dan risiko digital, sekaligus memastikan mereka mendapat manfaat terbaik dari perkembangan teknologi,” kata Presiden Prabowo saat peluncuran PP TUNAS di Istana Negara Jakarta, 28 Maret. 


Menurut Menteri Komunikasi dan Digital, yang juga hadir di acara peluncuran, regulasi ini sangat mendesak mengingat  darurat kasus kejahatan digital yang melibatkan anak.  


“Dalam empat tahun terakhir terdapat lebih dari 5,5 juta kasus konten pornografi anak di Indonesia, 48 persen anak pengguna media sosial  mengalami perundungan daring, dan 80 ribu anak terpapar judi online,” katanya dalam laporan kementerian


GovInsider berbicara dengan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, dan Ahli Psikologi Universitas Surabaya, Listyo, untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan ini bisa menghadapi tantangan dunia digital yang terus berkembang.

  

KPAI, lembaga independen negara yang bertugas mengawasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Indonesia, turut dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan ini. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Pentingnya kontrol orang tua 


PP TUNAS mengatur bahwa anak-anak di bawah usia 13 tahun tidak diperbolehkan membuat akun digital tanpa persetujuan orang tua. Sementara itu, anak usia 13–17 tahun harus mendapat izin dan pengawasan dari orang tua saat mengakses platform digital.


Regulasi ini juga mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) atau platform digital untuk mengedukasi anak dan orang tua mengenai penggunaan internet yang bijak dan aman, tidak melakukan profiling terhadap anak untuk tujuan komersial, melakukan penilaian dampak atas produk dan layanan yang dapat diakses oleh anak, dan meningkatkan kompetensi karyawan dalam hal perlindungan anak.


Apabila kewajiban ini dilanggar, maka PSE akan dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pemutusan akses layanan.  


Komisioner KPAI, Kawiyan, menyatakan bahwa regulasi yang menitikberatkan pada aspek kontrol orang tua dan platform digital ini akan menciptakan lingkungan digital yang lebih ramah anak.  


“PP TUNAS memuat kewajiban, tanggung jawab, bahkan larangan bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk tanggung jawab sosial untuk melakukan edukasi dan pemberdayaan ekosistem digital kepada masyarakat,” ujarnya.  

Meningkatkan literasi digital keluarga 


Kawiyan menggarisbawahi bahwa PP TUNAS ini penting sebagai langkah awal. Namun, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan.  


“Tidak semua orang tua memiliki literasi digital atau waktu yang cukup untuk membimbing anak-anak mereka,” katanya.


Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan literasi digital keluarga, karena inilah kunci sukses pelaksanaan PP TUNAS. 


“Ini soal bagaimana [orang tua] membangun kesadaran anak untuk berkomunikasi secara bijak di ruang digital.” 


Hal lain yang juga sangat penting adalah orang tua harus memberi contoh kepada anak-anak, termasuk disiplin waktu dalam menggunakan gawai dan media sosial, dia menambahkan. 


Langkah selanjutnya, menurutnya, adalah menyusun aturan turunan yang lebih rinci yang menyangkut bagaimana melibatkan peran orang tua dan pengawasan terhadap platform digital. 


Ia juga menegaskan pentingnya Kementerian Komunikasi dan Digital berkolaborasi dengan lembaga-lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta KPAI untuk memperjelas peran pengawasan. 

Menuju implementasi yang efektif 


Menurut Kawiyan, aturan yang dibuat pemerintah kerap menghadapi tantangan pada proses implementasi.


Ia menyoroti bagaimana lemahnya pengawasan pemerintah terhadap konten-konten negatif yang tidak ramah anak membanjiri dunia maya, termasuk pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian—yang beredar bebas di media sosial.  


Listyo juga menyampaikan kekhawatiran yang sama. Ia menyoroti maraknya konten kekerasan yang dibuat oleh anak-anak dan viral di media sosial, sebagai bukti lemahnya pengawasan dan pendampingan. 


“Penyebaran konten seperti itu menandakan kurangnya kontrol,” ujarnya, seraya menjelaskan bahwa anak-anak sangat mudah mencari celah, seperti menggunakan VPN untuk mengakses situs yang diblokir. 


“Generasi Z sangat ingin tahu dan cepat menemukan cara untuk mendapatkan apa yang mereka cari.” 


Listyo menambahkan, pemerintah perlu melakukan evaluasi rutin terhadap regulasi yang sudah ada dan tidak hanya bertindak reaktif setelah kasus terjadi. 

OSZAR »