Menuju layanan publik yang inklusif dengan infrastruktur publik digital (DPI)
By Mochamad Azhar
Para pemimpin pemerintahan dan swasta berbagi pengalamannya tentang bagaimana menggunakan DPI untuk menciptakan layanan publik yang lebih mudah diakses dan meningkatkan inklusi keuangan.
-1747971827990.jpg)
Panelis menekankan pentingnya infrastruktur publik digital (DPI) untuk mendorong layanan publik yang inklusif dan berkelanjutan. Foto: TBI
Digitalisasi dan pengembangan infrastruktur publik digital (DPI) adalah sebuah keharusan agar pelayanan publik dapat dinikmati oleh lebih dari 280 juta populasi Indonesia, kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, Teguh Setyabudi.
Teguh berbicara pada sesi diskusi panel bertajuk "The role of DPI in overcoming digital and financial inclusion challenge" pada acara Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025 di Jakarta baru-baru ini.
IFIS 2025 merupakan acara internasional pertama di Indonesia yang fokus pada inklusi keuangan nasional. Acara ini diselenggarakan oleh Tony Blair Institute dan Gates Foundation bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Teguh, Dukcapil telah menyediakan fondasi sistem identitas digital (digital ID) melalui data kependudukan yang dapat diverifikasi secara digital. Data-data kependudukan ini bisa digunakan oleh lembaga pemerintah atau swasta untuk meningkatkan layanannya.
"Selain memudahkan masyarakat mendapatkan layanan-layanan dasar pemerintah, sistem digital ID juga telah mempercepat akses penduduk untuk membuka rekening, mendapatkan layanan perbankan, hingga memiliki dompet digital," katanya.
Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 7.010 lembaga yang terintegrasi dengan sistem data kependudukan Dukcapil.
Selain Teguh, para panelis lainnya adalah Plt Deputi Transformasi Digital Pemerintah pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Cahyono Tri Birowo, Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Fitria Triswati, Senior Digital Specialist Bank Dunia Jonathan Marskell, dan CEO & CO-Founder DANA Indonesia Vincent Iswara. Panel dimoderatori Head of Partnership TBI untuk Asia Pasifik Astrid Dita.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Pentingnya kolaborasi dan tidak terkotak-kotak
Pada saat sesi, moderator bertanya tentang akan seperti apa pengembangan DPI di Indonesia selama lima tahun ke depan.

Menurut Teguh, dalam lima tahun ke depan, kolaborasi antarlembaga akan menjadi kunci keberhasilan implementasi digitalisasi layanan publik secara nasional, termasuk kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat sipil.
“Semua pihak harus mampu keluar dari pendekatan terkotak-kotak dan sekat sektoral untuk membangun koordinasi yang kuat agar DPI dapat berjalan optimal,” katanya seraya mencatat regulasi yang jelas dibutuhkan untuk mendefinisikan secara detail peran masing-masing instansi dalam proses ini.
Plt Deputi Transformasi Digital Pemerintah Kementerian PANRB Cahyono Tri Birowo mengatakan, Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan regulasi baru berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang akan merevolusi pendekatan layanan publik melalui transformasi digital yang menyeluruh, yang mencakup perubahan budaya kerja, integrasi data, dan pemanfaatan teknologi sebagai alat strategis untuk memperkuat pelayanan.
Kebijakan ini menandai pergeseran besar dari pola kerja silo antarlembaga menjadi ekosistem kolaboratif dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas.
“Sudah tidak boleh lagi ada silo di instansi pemerintah, karena ini merupakan kebijakan negara,” katanya seraya menambahkan bahwa sebuah layanan publik tidak selalu dimulai dari satu instansi, tetapi dapat terintegrasi antarlembaga guna mendukung kebutuhan pengguna secara menyeluruh.
Menurut Cahyono, Kementerian PANRB kini sedang mengembangkan layanan berbasis siklus hidup, yang mengikuti kebutuhan warga dari lahir, sekolah, bekerja, menikah, hingga pensiun dan meninggal dunia.
Digital ID akan menjadi tulang punggung layanan ini. Dengan satu ID yang tervalidasi dan dapat diakses lintas sektor, masyarakat tidak perlu lagi mengulangi proses verifikasi data berulang untuk mengakses layanan pemerintah maupun finansial, dia menambahkan.
Pendekatan omni-channel dalam pembayaran digital
Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Fitria Triswati, menyoroti pentingnya pendekatan omni-channel dalam sistem pembayaran yang saling terhubung lintas platform. Tujuannya agar semua layanan pembayaran dilakukan secara lebih cepat, mudah, murah, aman, dan andal.
“Dengan ini, masyrakat bisa mengakses layanan bantuan sosial melalui berbagai kanal atau aplikasi apapun, bahkan yang bukan milik kementerian” ujar Fitria.
Menurutnya, Bank Indonesia telah menyusun Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 dengan fokus utama pada penyaluran bantuan sosial berbasis digital atau Government-to-Person (G2P).
Lewat payment ID, penyaluran bantuan sosial diharapkan dapat semakin mudah, tepat sasaran, dan mengurangi kebocoran.
“Kami kembangkan bersama industri dan kementerian terkait. Ini bukan kerja sendiri, tapi sinergi,” katanya.
CEO & Co-Founder DANA Indonesia, Vincent Iswara, menyoroti bagaimana DPI telah menciptakan ekosistem layanan keuangan yang tumbuh pesat, baik dari sisi jumlah pengguna maupun jumlah transaksinya.
Menurut Vincent, dengan memanfaatkan layanan verifikasi KYC (know your customer) dari Dukcapil, dompet digital DANA Indonesia telah diakses 180 juta pengguna dalam waktu kurang dari tujuh tahun.
“Kerja sama strategis antara penyedia layanan keuangan digital dan Dukcapil juga memungkinkan kami memperluas akses layanan seperti investasi, asuransi, dan pinjaman,” katanya.
Membuat DPI tetap inklusif
Jonathan Marskell dari Bank Dunia menyatakan apresiasinya terhadap perkembangan pesat yang telah dicapai Indonesia sebagai negara dengan salah satu ekosistem DPI terbesar di Asia.
Namun demikian, ia menyoroti tiga prinsip utama yang harus diimplementasikan agar Indonesia dapat membangun DPI yang inklusif dan efektif.
Pertama, prinsip inklusi. Mengingat keragaman budaya, geografis, dan tingkat akses internet di Indonesia, solusi digital perlu disesuaikan dengan konteks lokal.
“Di Indonesia, tidak semua orang punya email, jadi desainlah aplikasi yang bisa berjalan dengan WhatsApp atau SMS,” ujarnya.
Kedua, kepercayaan. Maraknya penipuan dan kasus kejahatan online membuat masyarakat enggan memanfaatkan layanan digital. Oleh karena itu, transparansi dan perlindungan privasi sangat krusial. Regulasi seperti UU PDP dinilai sebagai langkah awal yang baik.
Ketiga, nilai guna. DPI harus menawarkan manfaat nyata dalam kehidupan sehari-hari, termasuk integrasi dengan sektor swasta seperti e-commerce dan layanan keuangan.
Bank Dunia saat ini sedang mendukung Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam aspek sistem pembayaran digital, serta bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil dalam pengembangan Digital ID.