Transformasi digital rumah sakit dan masa depan rekam medis elektronik

By Agus Mutamakin

Dr Agus Mutamakin berbagi tentang bagaimana kemajuan adopsi rekam medis elektronik di rumah sakit Indonesia perlu diiringi dengan peningkatan kualitas, kelengkapan fitur, interoperabilitas, dan keberlanjutan.

Adopsi rekam medis elektronik (RME) di Indonesia semakin meluas, dengan 96 persen rumah sakit sudah mengimplementasikan RME. Foto: Canva

Transformasi digital dalam sektor kesehatan Indonesia terus menunjukkan kemajuan signifikan, terutama dalam adopsi Rekam Medis Elektronik (RME). Sistem RME berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pelayanan, kualitas data kesehatan, dan integrasi antar fasilitas kesehatan.    

 

Namun, meskipun perkembangan ini menggembirakan, masih terdapat tantangan besar yang perlu diatasi agar RME benar-benar dapat mewujudkan transformasi layanan kesehatan nasional secara menyeluruh.   

 

Sebelum pandemi COVID-19, adopsi RME di Indonesia tergolong lambat. Banyak rumah sakit yang masih menggunakan pencatatan manual atau sistem informasi yang tidak terintegrasi.


Ketiadaan regulasi yang kuat, keterbatasan infrastruktur digital, dan belum adanya urgensi klinis membuat penerapan RME belum menjadi prioritas.  

 

Namun, pandemi menjadi titik balik penting. Kebutuhan untuk pelaporan kasus, pelacakan kontak, dan integrasi data pasien secara real-time mendorong akselerasi transformasi digital secara masif.   

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Capaian tinggi, tapi belum tuntas  

 

Hingga saat ini, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 96 persen rumah sakit di Indonesia telah menerapkan RME. Bahkan, sekitar 92 persen dari total rumah sakit telah terhubung ke platform nasional SATUSEHAT, yang menjadi fondasi integrasi data kesehatan nasional.

 

Meski angka ini mencerminkan capaian signifikan dalam hal keterhubungan, kualitas implementasi RME di banyak rumah sakit masih belum optimal. Hanya sebagian kecil rumah sakit yang mengirimkan data kesehatan pasien secara rutin dan lengkap ke platform nasional.  

 

Banyak sistem RME yang hanya mencakup fungsi dasar, belum menyentuh fitur lanjutan seperti interoperabilitas penuh, pencatatan data terstruktur, atau pengintegrasian data klinis dari berbagai departemen.  

Pentingnya standardisasi RME  

 

Salah satu akar permasalahan dari belum optimalnya RME adalah belum adanya standar nasional yang diadopsi secara luas untuk mengukur kematangan implementasi.

 

Di tingkat global, model seperti Electronic Medical Record Adoption Model (EMRAM) dari Healthcare Information and Management Systems Society (HIMSS) digunakan untuk menilai sejauh mana suatu rumah sakit menerapkan dan memanfaatkan sistem RME secara paripurna.  

 

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga telah mendorong penggunaan Digital Maturity Index (DMI) sebagai instrumen evaluasi kesiapan digital fasilitas kesehatan.   

 

Namun, adopsi dan implementasinya masih belum merata.  

 

Dengan adanya kerangka standar seperti EMRAM dan DMI, rumah sakit dapat lebih terarah dalam merancang peta jalan digitalisasi. Evaluasi bertahap ini juga akan membantu Kementerian Kesehatan dalam memberikan bimbingan dan dukungan teknis yang tepat.  

Perlunya insentif dan manfaat nyata  

 

Selain regulasi dan standar, keberhasilan adopsi RME juga sangat bergantung pada insentif dan manfaat nyata yang dapat diterima oleh rumah sakit. 

 

Banyak rumah sakit yang masih menganggap RME sebagai beban biaya tambahan, bukan sebagai investasi strategis.  

 

Penerapan RME dapat menjadi jauh lebih menarik jika dikaitkan langsung dengan manfaat finansial seperti proses klaim yang lebih cepat dan transparan. 

 

Ketika sistem RME diintegrasikan secara langsung ke dalam mekanisme klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), rumah sakit akan terdorong untuk memastikan kelengkapan dan akurasi data medis. Hal ini sekaligus akan meningkatkan keandalan data nasional dan efektivitas program pembiayaan kesehatan.  

Memanfaatkan AI untuk mengefisienkan RME  

 

Adopsi RME juga harus memperhatikan beban kerja tenaga kesehatan. Banyak dokter dan perawat merasa terbebani dengan proses entri data elektronik yang memakan waktu dan mengganggu interaksi pasien.  

 

Di sinilah teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat memainkan peran penting.  

 

Teknologi AI seperti model speech-to-text memungkinkan dokter untuk mencatat catatan medis secara real-time dan ditranskripsikan secara otomatis ke dalam format teks terstruktur.  

 

Sistem clinical decision support berbasis AI juga dapat membantu memberikan rekomendasi pengobatan, mengingatkan interaksi obat, atau menandai kelainan dalam hasil laboratorium secara otomatis.  

 

Dengan demikian, AI bukan hanya mendukung efisiensi, tetapi juga kualitas dan keamanan pelayanan medis.  

 

Dengan memperkuat standar, memberikan insentif nyata, dan memanfaatkan teknologi AI, Indonesia berpeluang besar untuk membangun sistem informasi kesehatan yang tangguh, terintegrasi, dan berorientasi pada pelayanan pasien.   

 

Masa depan rekam medis elektronik bukan hanya soal digitalisasi, tapi juga tentang mewujudkan layanan kesehatan yang lebih adil, efisien, dan bermutu tinggi. 

 

Dr Agus Mutamakin adalah seorang profesional di bidang transformasi digital rumah sakit dan sistem informasi kesehatan. Berpengalaman dalam integrasi EMR dengan platform nasional SATUSEHAT dan inisiasi teknologi AI di layanan kesehatan. Saat ini aktif memimpin proyek digitalisasi di Bali International Hospital dan terlibat dalam berbagai inisiatif strategis untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan kesehatan di Indonesia. 

OSZAR »