Memperkuat inklusi keuangan dengan menjamin keamanan, menjangkau kelompok rentan

By Mochamad Azhar

Para pemimpin sektor publik dan organisasi non-profit menyoroti dua tantangan utama di ‘last mile’ perjalanan inklusi keuangan Indonesia: memastikan keamanan transaksi keuangan, serta menjangkau kelompok rentan dan belum terlayani.

Para panelis dari sektor publik dan organisasi nonprofit menekankan bahwa keamanan transaksi digital harus sejalan dengan proses inklusi keuangan. Foto: TBI

Perjalanan inklusi keuangan Indonesia menunjukkan tren positif dalam lima tahun terakhir, di mana 76,3 persen penduduk tercatat telah memiliki rekening di lembaga keuangan formal dan 88,7 persen telah menggunakan layanan keuangan formal, menurut laporan Bank Indonesia (BI). 

 

Ketika berbicara tentang infrastruktur sistem keuangan yang inkusif, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah menjadi tulang punggung sistem pembayaran digital nasional yang memungkinkan setiap orang dapat bertransaksi keuangan secara non-tunai di mana saja mereka berada. 

 

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono, mengatakan, semua orang telah memanfaatkan fasilitas QRIS dan tidak hanya digunakan oleh kelompok-kelompok ekonomi menengah ke atas di kota-kota besar.  

 

“Para pelaku usaha kecil seperti tukang bakso ataupun penjaja makanan lainnya, kini telah memanfaatkan QRIS untuk menerima pembayaran hanya dengan memiliki aplikasi perbankan dan menempelkan stiker kode QR di tempat ia berjualan.”  

 

Dicky berbicara dalam panel berjudul “Reimagining Financial Inclusion: From Present Challenges to Future Opportunities” pada Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025 di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

IFIS 2025 diselenggarakan oleh Tony Blair Institute for Global Changes (TBI) dan Gates Foundation bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

 

Menurut Dicky, dalam waktu lima tahun, QRIS telah mencatat pertumbuhan transaksi rata-rata lebih dari 150 persen per tahun, dengan nilai transaksi mencapai Rp658 triliun dari 65 miliar transaksi. 

 

“Tingkat penipuan (fraud) pun tercatat hanya sekitar satu persen, angka yang tergolong rendah untuk skala nasional,” ia menambahkan. 

 

Selain Dicky, para panelis lainnya adalah Country Lead for DPI and Inclusive Financial Systems, Gates Foundation, Indonesia, Brooke Patterson; Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari; dan Country Director TBI, Indonesia, Shuhaela Haqim. Panel ini dimoderatori oleh jurnalis SEAToday, Sara Wayne. 

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Memastikan keamanan transaksi digital 

 

Brooke Patterson dari Gates Foundation menyampaikan meskipun Indonesia telah mencatat tingkat penipuan rendah dalam sistem pembayaran digital seperti QRIS, pelaku kejahatan terus beradaptasi dengan teknologi baru.

 

Mereka tetap dapat mengeksploitasi sistem pembayaran instan dan layanan keuangan digital untuk melakukan penipuan yang semakin kompleks.  

 

"Masyarakat hanya akan terus menggunakan layanan keuangan jika mereka merasa sistem tersebut dapat dipercaya," katanya. 

 

Patterson menekankan pentingnya keseimbangan antara kemudahan akses, keamanan sistem, dan perlindungan konsumen yang dapat disediakan lewat identitas digital (digital ID) yang berbasis biometrik. 

 

"Penyedia layanan, termasuk pemerintah, harus dapat memastikan bahwa orang yang bertransaksi adalah benar-benar orang yang dimaksud," ujarnya. 

 

Dia juga menyoroti bahwa perempuan, penyandang disabilitas, dan penduduk daerah terpencil masih menjadi kelompok yang paling kurang terlayani. Ia menekankan bahwa perempuan bukan hanya salah satu segmen, tetapi separuh populasi dengan kebutuhan khusus yang masih sering diabaikan.  

 

Untuk menjawab kebutuhan mereka, hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan infrastruktur dasar seperti sistem pembayaran digital, digital ID, dan konektivitas tersedia dan berfungsi secara merata di seluruh wilayah, katanya. 

 

Setelah itu, program yang ditargetkan seperti digitalisasi program bantuan sosial seperti bantuan sembako, harus diintegrasikan dengan akun digital.  

 

“Ini tidak hanya memperluas inklusi keuangan, tetapi juga meningkatkan efisiensi penyaluran bantuan.” 

Melindungi yang rentan dan kurang terlayani 

 

Friderica dari OJK mengatakan, upaya perlindungan konsumen dalam transaksi keuangan sering kali beririsan dengan kelompok rentan dan kurang terlayani. 

 

"Perempuan – yang memegang peran vital dalam pengelolaan keuangan keluarga – banyak yang terjerat pinjaman online ilegal karena minimnya akses terhadap layanan keuangan formal. Sementara banyak pekerja sektor informal, petani, dan nelayan belum mendapatkan literasi keuangan,” katanya.  

 

Karena itu, ia menggarisbawahi pendekatan holistik dan kolaboratif dari lembaganya dalam memperkuat perlindungan konsumen dan memperluas inklusi keuangan yang aman bagi semua lapisan masyarakat.   

 

Dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang baru, OJK telah diberikan mandat untuk memperkuat tiga aspek utama perlindungan konsumen: pengawasan perilaku pasar (market conduct), penanganan pengaduan, dan pemberantasan aktivitas keuangan ilegal. 

 

Regulasi itu telah mendasari pembentukan Satgas PASTI OJK (Penanganan Aktivitas Keuangan Ilegal) dan melahirkan Indonesia Anti-Scam Center pada November 2024.  

 

Menurut Friderica, regulasi ini juga mewajibkan institusi keuangan untuk bekerja sama dengan OJK memberikan edukasi kepada konsumen.  

 

"Kalau kalian membuka portal digital, kalian harus juga mendampingi konsumen kalian. Edukasi mereka, jalan bersama mereka," ia menekankan. 

 

Melalui Gerakan Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (Gencarkan), OJK mewajibkan seluruh entitas keuangan (sekitar 2.500 lembaga) untuk melaksanakan program edukasi masyarakat. 

 

"Kami tidak ingin kegiatan literasi hanya berpusat di Jakarta. Papua, Maluku, Kalimantan, semua harus tersentuh,"dia menambahkan. 

Membangun digital ID yang terintegrasi 

 

Shuhaela dari TBI menyoroti bahwa Indonesia harus menyelesaikan pekerjaan besar membangun digital ID yang benar-benar terintegrasi. Namun, pekerjaan ini tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. 

 

"Saya mendorong pemerintah untuk menaruh kepercayaan pada potensi besar dari digital ID, seperti yang dilakukan oleh India dan Singapura yang saat ini sedang memetik manfaat ekonomi dari DPI." 

 

Shuhaila juga menyatakan bahwa usaha pengembangan digital ID sebagai fondasi utama DPI yang dilakukan secara kolaboratif oleh Dukcapil dan berbagai lembaga pemerintah sudah berada di jalur yang benar. Namun, yang dibutuhkan sekarang bukan lagi perencanaan, melainkan pelaksanaan. 

 

"Kita sudah punya stakeholder-nya, kita sudah punya sistemnya. Tinggal menjalankan kebijakan yang sudah dibuat dengan konsisten," tegasnya.    

OSZAR »